3M Mudik Macet Dan ML
“Akua, akua, akuaa! Akua, Mijon, Sprit, Panta! Yang aus, yang aus!” Teriak beberapa pedagang asongan dengan intonasi khas, menyelinap di celah barisan mobil-mobil yang tak bergerak. Pagi sudah tak lagi terlihat seperti pagi; matahari yang meninggi serta bising dan panas dari kendaraan membuatnya seolah sudah tengah hari.
Sepasang muda-mudi tampak bengong di dalam Honda Jazz merah, menatap kosong pantat-pantat kendaraan yang berjajar di hadapannya. Lagu Ain’t It Fun-nya Paramore terdengar mengalun pelan di dalam kabin yang dingin ber-AC.
“Udah sampe di mana kita?” Tanya Alya yang duduk di sebelah kiri kemudi.
“Udah gak usah becanda.” Jawab adik Alya, Ivan yang memegang setir.
“Idih sewot.” Tukas Alya sambil mengambil iPad putihnya di samping tuas rem tangan.
“Abisnya, udah empat jam kita di sini gak kemana-mana.” Jawab Ivan dengan ketus. “Kak Al sih, coba tadi kita berangkat pagi banget bareng Papah, pasti gak gini ceritanya.” Pungkasnya.
“Ya maaf.” Jawab Alya. “Banyak pesenan, cong.” Lanjutnya sambil mengoprek tabletnya itu. Keduanya terpaksa pulang mudik terlambat setelah Alya memaksa adiknya berbelanja oleh-oleh terlebih dahulu.
Alya terlihat mengenakan tanktop double layer berwarna putih persik dan hotpants blue jeans, sesuai dengan perangainya yang super cuek tapi selaras dengan wajahnya yang cantik dan kulitnya yang putih. javcici.com Sementara Ivan hanya mengenakan kaos biru kadet dengan jeans, menunjukkan tipe cowok yang santai. Kedua kakak-beradik itu hanya terpaut usia 2 tahun.
Ting tong ting tong ting tong!
“Hape lu tuh, angkat.” Perintah Alya.
Ivan mengambil handphone-nya, melihat tapi kemudian mematikan panggilan itu.
“Cieeeh dirijek.” Sindir Alya. “Siapa siiiih? Fans lu, yaa?” Cibirnya.
Ivan tak menggubris sindiran kakaknya itu.
“Kenapa sih lu, Van, udah kelas dua belas masih belum punya pacar?” Tanya Alya, heran dengan adiknya ini. Padahal menurut sepengetahuannya, cukup banyak cewek-cewek yang menyukai Ivan.
“Jangan dibahas laah.” Jawab Ivan, mengelak.
“Eh, seriusan. Kenapa?” Tanya Alya lagi.
Ivan tak meresponnya. Sesungguhnya, standar cewek buat Ivan sudah terlanjur tinggi dipatok oleh kakaknya sendiri. Punya kakak yang cantik, fashionable, dan rajin merawat diri membuatnya susah mencari cewek yang mendekati itu di sekolahnya. Beberapa kali Ivan pernah mendekati cewek tapi tak satu pun yang sesuai dengan harapannya.
“Ganteng sih cukup, rapi iya, bersih iya. Apa lu kurang nyekil, ya?” Alya mencoba menganalisa problem adiknya. Menurutnya, adiknya itu memang tak cuma santai seperti dia tapi juga terlalu pasif terhadap cewek.
Ivan enggan merespon pertanyaan kakaknya itu. Jelas saja, melihat kendaraan macet yang sangat panjang, bisa dipastikan sebuah pembicaraan akan sangat panjang juga. Ivan tak mau jika tentang dirinyalah yang dibahas sepanjang sisa perjalanan.
“Yah, dianya cuek.” Kata Alya. “Ya udah, gue tidur aja. Bosen.” Katanya lagi, menyimpan iPad-nya. Alya menarik tuas seatback dan mendorong sandaran joknya itu ke belakang.
Ivan tak mempedulikan ocehan kakaknya itu dan membiarkan dirinya ditinggal tidur sendirian. Ivan menengok jam tangan yang dipakainya, sudah lebih dari empat jam kendaraan mereka tersangkut kemacetan arus balik.
Tidak nyaman dengan posisi tidurnya, Alya menaikkan kaki kirinya ke dashboard. Mata Ivan terlihat menyudut, mengintip sepasang kaki mulus yang membentang di sampingnya. Ivan memang sudah sangat terbiasa melihat kakaknya memakai shortpants atau miniskirts, atau pakaian mini lainnya tapi sepertinya darah kelelakian remaja puber itu membuat dia tak pernah bosan dengan pemandangan yang ‘mengundang’ itu. Usia mereka memang tak begitu jauh tapi tentu saja soal fisik Alya sudah jauh lebih dulu matang dari Ivan -dan itulah yang sering menjadi masalah buat Ivan. Apa yang Ivan lihat kali ini adalah kaki dengan jari-jari kaki yang terawat, betis yang kencang, dan paha ramping yang bersela, semuanya dia lihat di sepasang kaki jenjang yang kulitnya halus mulus dan putih bersinar bak mutiara. Sering kali Ivan hanya bisa menelan air liurnya jika mendapati keindahan seperti itu, terlebih jika dia mendapatkan bonus, seperti yang sedang diintipnya kali ini.
Alya mengenakan jorts, celana jeans yang super pendek dengan jumbai-jumbai denim tak berkelim. Celana yang terlalu pendek yang hanya sekedar menutupi 5-7 sentimeter bagian paha Alya. Kaki kanannya yang terlipat dengan lutut keluar itu membuat selangkangannya membuka, menyisakan celah pada lubang kaki celana yang mendekati bagian selangkangannya. Melihat kakaknya sedang memejamkan matanya, Ivan menjulurkan pandangannya, mengintip permukaan terbuka yang memperlihatkan sebagian lapisan celana dalam dan permukaan selangkangan Alya. Sekali pun Alya memakai celana dalam putih mint tapi permukaan kulit selangkangan Alya yang putih seputih susu masih terlihat kontras dengan warna celana dalamnya itu. Bonus-bonus seperti ini yang selalu membuat Ivan kecil terbangun. Walau pun Alya adalah kakaknya sendiri, Ivan sudah lupa kapan terakhir kali melihat kakaknya bugil, membuatnya justru selalu tertarik dengan bagian-bagian tubuh yang selalu disembunyikan Alya.
“Van.” Kata Alya.
“Y-ya?” Tanya Ivan terkejut.
“Turunin AC-nya dong, gue takut beser.” Jawab Alya.
“Oh. Iya.” Jawab Ivan sambil memutar cakram temperatur AC-nya.
—
“So am I wrong?
For thinking that we could be something for real?
Now am I wrong?
For trying to reach the things that I can’t see?
But that’s just how I feel,
That’s just how I feel
That’s just how I feel..”
Lagu Nico & Vinz terdengar menggetar dari speaker satelit dan subwoofer di dalam kabin kendaraan itu, seirama dengan ketukan telunjuk Ivan pada permukaan setir yang dipegangnya. Sudah dua jam berlalu sejak Alya tertidur tapi angka odometer di panel instrumen masih belum banyak bertambah, atau dengan kata lain jalanan amat sangat macet.
“Van.” Alya terbangun dari tidurnya. “Gue pengen pipis.” Katanya, setengah bergumam.
“Euh. Bentar.” Jawab Ivan sambil celingukan, melihat celah buat menepi di tengah-tengah kemacetan itu. “Ngga bisa, kak Al.” Kata Ivan, melihat mobil yang disetirnya persis berada di tengah-tengah.
“Aduuuh, gue gak tahan.” Kata Alya sambil meringis menahan perutnya. “Van??” Desak Alya, kebingungan tak punya solusi.
“Emm, emm.” Ivan terlihat ikut bingung. “Gimana dong? Mau pake botol?” Ivan juga tampaknya tidak tahu harus berbuat apa.
“Aduuuh. Lu pikir gue cowok.” Protes Alya. “Aaaaaaah! Aduh, aduh!” Teriak Alya sambil berdiri, kemudian loncat ke jok belakang. Alya terlihat terdiam untuk beberapa saat setelah duduk di belakang.
“Van. Koper gue di mobil Papah, ya?” Tanya Alya kemudian sambil nungging ke belakang, mengecek bagasi.
“Lah situ naronya di mana?” Ivan balik bertanya sambil mengintip kakaknya dari cermin dalam. “Hah? Kak Alya ngompol??” Teriak Ivan, melihat jeans pendek kakaknya itu berbayang basah pada bagian bawahnya. “Hahaha!” Lanjutnya sambil mentertawakan kakaknya.
“Ih sialan malah ngetawain.” Balas Alya kesal. “Nih, makan!” Katanya dari belakang sambil mengelapkan tangannya yang basah oleh air kencingnya ke wajah Ivan.
“Aaaah, bau memeeeeeek!!!” Teriak Ivan sambil segera mengambil tisu dan mengelap mukanya, kemudian melempar tisunya ke belakang ke arah Alya.
“Enak aja dibilang bau memek! Memek gue kagak bau!” Alya kembali mengusapkan tangannya ke wajah Ivan.
“Mmh! Bauuu!” Ivan kembali menyeka wajahnya dengan tisu.
“Bau apa sih lu!?” Tanya Alya kesal, merasa difitnah dibilang bau seperti itu. “Van.” Kata Alya kemudian. “Koper gue di mobil Papah, gue gak ada celana cadangan.” Rengek Alya.
“Aku juga gak bawa apa-apa.” Jawab Ivan. “Lagian pantat kak Al kan gede, celanaku gak bakalan ada yang muat.” Ivan kebingungan.
“Ada supermarket gak?” Tanya Alya sambil melihat-lihat ke samping jalan.
“Nggak lah, ini masih hutan rimba.” Jawab Ivan, menunjuk rumah-rumah yang sepi dari pertokoan.
“Lebay lu, ah.” Kata Alya. “Emang di mana kita?”
“Cijapati.” Jawab Ivan. “Mau dikeringin pake AC gak celananya?” Tanya Ivan menawarkan solusi. Kepala Ivan mendadak penuh warna, membayangkan kakaknya melepas celananya di mobil.
—
“Nih.” Kata Alya sambil mengambil Minute Maid Pulpy Orange dari kantong plastik yang dibawanya dari Indomaret.
“Thanks.” Ujar Ivan yang mendadak terlihat hanya mengenakan singlet putih. “Dapet celananya?” Tanyanya kemudian.
“Enggak, cuma ada cangcut doang.” Jawab Alya sambil menunjukkan bungkusan celana dalam yang baru dibelinya. “Nih.” Alya melempar kaos Ivan yang tadi dipakai untuk menutupi celananya yang basah.
“Jangan coba-coba bilang bau memek!” Teriak Alya, melihat Ivan yang akan membuka mulutnya setelah mencium-ciumi kaosnya. “Kayak lu tau aja bau memek kayak gimana.” Protes Alya sambil melangkah ke belakang. Ivan melirik Alya yang melangkah di sampingnya, menatap tak berkedip paha yang putih dan mulus itu.
“Tau lah, kayak bau pesing gitu, kan.” Jawab Ivan membela diri.
“Gue buka celana, awas lu kalo nengok.” Ujar Alya sambil menjulurkan tangannya ke spion dalam dan memutarnya ke arah samping, khawatir Ivan mengintipnya. “Bau pesing? Kata siapa? Sok tau.” Protesnya. “Memek bocah kali, Van, bau pesing.” Pungkas Alya sambil beranjak persis ke belakang jok Ivan.
Jantung Ivan mendadak berdegup kencang mengetahui kakaknya itu akan mengganti celana dalam. Sepertinya Ivan tak ingin kehilangan momen itu tapi dia tak memiliki cara untuk memanfaatkannya. Dia berpikir keras untuk bisa mengintipnya tanpa sepengetahuan Alya. Tapi sia-sia, tak satu pun keluar ide dari kepalanya.
“Nih, jemurin.” Kata Alya sambil menjulurkan hotpants-nya itu ke depan.
Ivan mengambilnya dan bermaksud meletakkannya di dashboard. Pikirannya semakin kacau, terbayang kakaknya itu hanya menggunakan celana dalam di belakang sana. Karena dashboard cukup jauh, akhirnya langkah ini akan dia coba gunakan sebagai modus untuk memalingkan wajahnya ke belakang. Tapi belum sempat Ivan bergerak,
“Nih, ini wangi memek beneran.” Kata Alya tiba-tiba sambil menyentuhkan telunjuknya ke hidung Ivan, setelah sebelumnya Alya menyelipkan telunjuknya ke dalam celana dalam yang baru saja dipakainya. “Mana bau pesing? Itu namanya wangi.” Ujarnya. Seolah terhipnotis, Ivan terpaku dengan aroma yang keluar dari telunjuk Alya. Aroma wangi segar yang bercampur sedikit wangi lembab yang khas. Wangi yang sangat familiar buat Ivan.
Sudah sejak masuk SMP Ivan menjadi perompak celana dalam. Celana dalam siapa lagi kalau bukan punya kakaknya? Sejak kakaknya berubah menjadi seorang remaja putri yang menarik, hal-hal pribadi milik Alya selalu menjadi magnet perhatiannya. Awalnya hanya sekedar ingin tahu, lama-lama menjadi candu dan inspirasi pelampiasan hasrat pubertasnya. Bra, miniset, kaos dalam, celana dalam, celana pendek spandex, dan segala pakaian yang meninggalkan aroma khusus dari tubuh kakaknya. Nyaris semua aroma bebauan, dari wangi artifisial; parfum, cologne, lotion, sampai wangi alami pengaruh hormon estrogen dalam tubuh kakaknya; keringat, ketiak, apalagi bau dari celana dalamnya.
Wangi lembab yang barusan tercium itu mengingatkan Ivan pada celana dalam Alya yang biasa dicurinya. Wangi yang biasanya cukup kuat pada bagian tengah celana dalam yang biasanya disertai noda, atau yang masih disertai cairan lengket jika Ivan mengambilnya tidak lama setelah dipakai Alya. Tapi ada hal yang Ivan sadari berbeda dengan apa yang selama ini dia cium, kali ini bukan hanya lembab tapi juga wangi fresh yang menyegarkan. Wangi yang tak pernah dia temui sebelumnya.
“Heh!!! Kenapa jadi ngelamun!!” Teriak Alya. Alya yang bawahannya hanya mengenakan celana dalam yang baru dibelinya itu loncat kembali ke jok di samping Ivan. photomemek.com Tapi sial buat Ivan, sebelum dia sempat melihat bagian terbuka milik kakaknya, Alya lebih dulu mengambil kaos Ivan yang belum sempat kembali dia kenakan, dan secepat kilat menutupkannya pada pahanya. Alya melihat ke sekelilingnya, memastikan tak ada orang dari kendaraan lain yang melihatnya tadi. “Kita sambil melipir aja, Van, cari toko baju. Kalo macet terus, gue pasti perlu celana. Tapi kalo lancar sih gak apa-apa.” Pesan Alya.
Ivan masih terlihat bengong, tak merespon omongan Alya.
“Eh, kok lu kayak yang horny, Van?” Tanya Alya keheranan setelah melihat wajah Ivan yang mendadak cerah. Pupil mata Ivan terlihat melebar namun kelopak matanya menyempit sayu, alis matanya turun, Ivan seperti sedang di bawah pengaruh obat penenang.
Ivan yang masih tak menjawab terkejut ketika tiba-tiba saja Alya mengulurkan tangannya memegang bagian selangkangannya.
“Iiiih, lu horny sama gueeeeee???” Teriak Alya histeris menemukan batang kelamin Ivan tegak mengeras.
“Kak Alya!!” Teriak Ivan, melotot ke arah tangan Alya yang persis menekan kemaluannya. Kendati protes, Ivan tetap membiarkan tangan Alya menyentuh kemaluannya, tak bisa berbohong dengan kebutuhan biologis tubuhnya.
“Kok bisa, Van?” Tanya Alya. Alya sendiri tidak menarik kembali tangannya. Diam-diam dia terkejut mendapati batang kejantanan adiknya itu terasa besar dan tebal. Alya sendiri tak ingat kapan terakhir kali dia melihat kemaluan Ivan. Namun yang pasti, ukurannya sekarang jauh lebih besar dari yang dia kira. Awalnya Alya tidak membuat gerakan apa-apa tapi karena kepenasarannya, Alya refleks menggerakan tangannya maju hingga ke ujung akhir kepala penis Ivan dan kemudian mundur hingga pangkal batangnya. Alam bawah sadar Alya cukup penasaran dengan ukuran penis Ivan yang sesungguhnya. Tapi hal itu diterjemahkan lain oleh Ivan. Ivan yang kemaluannya sudah ‘ready’ itu menggelinjang sedikit, mendapatkan rasa nikmat dari pergeseran tangan Alya.
“Eh sori, gue gak maksud.” Ucap Alya, melihat adiknya terlihat keenakan dengan gerakan tangannya. Alya tak ingin hal itu disalah-artikan, dia pun menarik kembali tangannya.
Tak pernah terpikirkan dalam benak Alya jika adiknya bisa terangsang olehnya, bahkan bisa menerima sentuhan darinya. Alya sendiri sudah membuang jauh ketertarikan fisik dengan adiknya, sekali pun tak bisa disangkal oleh tubuhnya jika dirinya juga sedikitnya menikmati hal-hal seperti itu. Walau pun Alya lebih dewasa dan lebih memahami arti dari hubungan adik-kakak tapi terkadang refleks dari tubuhnya yang penasaran membuatnya tak sadar. Tak jarang Alya mendapati dirinya ngobrol dengan Ivan tanpa alasan yang jelas ketika Ivan pulang bermain futsal padahal hanya untuk sekedar menghirup wangi keringat maskulin Ivan atau ketika Ivan selesai mandi, Alya tak sadar jika dia sering sekali mengajak Ivan bercanda hanya untuk melihat dada Ivan yang bidang atau melirik pantat Ivan yang hanya berbalut handuk. Tapi semua hanya sejauh itu, Alya masih cukup sadar untuk tidak terjebak lebih dalam. Terkecuali hari ini, Alya cukup terpesona dengan batang kemaluan Ivan yang sejak sekian tahun baru disadarinya kembali.
“Lu kok kayak yang keenakan.” Ujar Alya. Lagi-lagi Alya tak sadar tangannya telah kembali memegang kemaluan Ivan. Bukan hal yang diinginkan Alya sama sekali tapi itu tetap terjadi di luar kendali akal sehatnya.
Ivan masih tetap terdiam mendapati tangan Alya kembali menyentuhnya. Bukan pengalaman pertamanya memang, penisnya disentuh cewek bukanlah hal yang aneh karena Ivan juga tak jarang digoda atau menggoda cewek-cewek. Namun usapan tangan Alya diluar dugaannya, jiwa kelelakiannya bergejolak, bukan saja karena Alya adalah kakak kandungnya sendiri tapi juga karena selama ini Alya adalah sosok cewek yang selalu menjadi favoritnya. Sosok mustahil yang hanya bisa Ivan bayangkan dalam khayalannya, bukan dalam dunia nyata.
“Ini enak?” Tanya Alya sambil menatap mata Ivan yang terlanjur terbuai gairah, jempol tangannya mengusap-usap bagian leher kemaluan Ivan yang masih terlapisi jeansnya.
Ivan mengangguk, tubuhnya yang haus akan pelampiasan itu tak bisa berbohong.
Alya melihat ke luar, mengecek jika orang dari kendaraan lain bisa melihatnya. “Sejak kapan punya lu jadi gede gini, Van?” Tanya Alya.
“Sejak teteh susunya gede. Haha.” Jawab Ivan sambil bercanda.
“Haha!” Alya tertawa cukup keras, mengingat hal itu sangat logis. “Jangan-jangan lu suka sama tetek gue ya?” Tanya Alya memancing.
“Iya lah. Punya kak Alya gede.” Jawab Ivan jujur.
Alya tersenyum merasa tersanjung. “Van.” Kata Alya kemudian. “Jangan mikir yang aneh-aneh dulu, ya.” Ujar Alya mengantisipasi sesuatu. “Liat, ya? Penasaran.” Pinta Alya sembari menunjuk kemaluan Ivan.
Ivan tentu saja mengangguk setuju, cowok mana yang mau menolak cewek minta izin melihat anunya? Ivan melihat sekelilingnya, memastikan mereka berada di situasi yang aman. Reflektor film di jendela kendaraannya sudah dia ketahui membuatnya aman dari intipan orang di luar, terkecuali dari jendela bagian depan. Namun tak ada kendaraan yang memiliki tinggi signifikan untuk mengintip mereka dari depan.
Alya pun membuka kancing dan menurunkan ritsleting celana Ivan. Kemudian dia menarik celana dalam yang menghalangi kemaluan Ivan. Alya tampak takjub melihat benda tegang berurat yang ternyata cukup besar, lebih besar dari yang Alya pikirkan dan yang pernah dia lihat di jaman dahulu kala. Bukannya puas setelah melihat itu, Alya justru merasa horny karenanya.
Dua adik-kakak ini nampaknya masing-masing sudah cukup tergugah secara seksual tapi tak satu pun yang menunjukkan sinyalnya terang-terangan. Alya sendiri bisa berbuat sekehendaknya karena merasa dia yang paling tua tapi tetap saja dia terlalu gengsi untuk memperlihatkan itu secara terbuka. Sementara Ivan bersikap sebagaimana seorang adik seharusnya, dia tak berani berinisiatif apa pun, khawatir menjadi salah di mata kakaknya. Keduanya merasakan dorongan birahi yang sama namun keduanya juga sama-sama tak ingin hal ini menjadi sumber bencana.
Ivan diam saja ketika Alya meraba-raba urat-urat dan renjulan-renjulan samar di penisnya. Sentuhan jemari lembut kakaknya dirasanya bak belaian bidadari yang membuai hasratnya. Alya sendiri rupanya sudah terlalu terangsang.
“Lu beneran belum punya pacar? Belum pernah begini-beginian sama cewek?” Tanya Alya bermodus.
Ivan menggeleng, berbohong. Berharap besar yang dilakukan kakaknya itu tak berhenti sampai di situ.
“Kalo ini?” Tanya Alya sambil kemudian menjulurkan lidahnya dan menjilati leher kemaluan Ivan. Alya menengok Ivan kembali, menanti dengan cemas reaksi Ivan.
Ivan masih menggeleng dengan tenang padahal dalam hatinya Ivan begitu terkejut kakaknya sendiri ternyata cukup berani melakukan itu.
Sadar jika sekenarionya sukses, dalam hal ini apa yang dilakukannya bisa diterima dengan positif oleh Ivan, Alya membuka mulutnya dan memasukkan kepala penis Ivan ke dalamnya. Ivan yang masih terkejut tapi senang terlihat terpejam, menikmati hangat mulut kakaknya itu. Sentuhan lidah yang basah di dalam mulut Alya membuatnya terdiam nikmat, terlebih ketika mulut kakaknya itu menghisap-hisap dan menyedot-nyedot kemaluannya. Ivan pun refleks menarik tuas pengatur jarak duduk hingga joknya lebih mundur, menyisakan ruang yang cukup banyak untuk kakaknya.
Alya menggerak-gerakkan mulutnya, menarik-narik kemaluan Ivan keluar-masuk mulutnya. Terlanjur terangsang, Alya meraih tangan Ivan dan menyelipkannya pada baju Ivan yang menutupi pahanya. Ivan merasakan tangannya menghampiri permukaan yang hangat, bagian selangkangan Alya yang hanya berlapis celana dalam. Melihat adiknya tidak cukup ahli beraksi di sana, Alya mencoba membantu tangan Ivan tiba di lokasi yang sangat dia inginkan.
“Mhh..” Alya terdengar melenguh, mengarahkan jemari Ivan pada klitorisnya tapi mulutnya pun tak berhenti menghisap kemaluan Ivan.
“Van.” Ujar Alya, berhenti melakukan aktivitasnya. “Kamu ngerasa enak, gak?” Tanya Alya.
Ivan terkejut mendengar kakaknya menggunakan panggilan ‘Kamu’, membuat dirinya serasa lebih dekat dengan Alya. Ivan berpikir, mungkin karena kakaknya ini sudah cukup terangsang. Tanpa ragu-ragu Ivan mengangguk.
“Kayaknya kita harus parkir.” Kata Alya.
—
“Van.” Ucap Alya yang sudah duduk di belakang dengan wajahnya yang sudah sayu, merentangkan tangan menyambut Ivan yang beranjak menuju ke arahnya. Ivan melangkahkan kaki ke belakang tanpa bisa bersabar lagi, kakaknya yang cantik itu sudah duduk dengan bawahan celana dalam yang sudah tak terhalangi apa pun lagi.
Siang hari yang terik tampaknya tak begitu terasa oleh kedua insan di dalam mobil yang ber-AC itu. Kendaraan mereka terparkir di depan sebuah pabrik garmen yang terlihat sepi. Kendaraan-kendaraan lain tampak masih berbaris di sepanjang jalan itu. Sepasang adik-kakak yang sedang dibakar gelora itu tampaknya sudah terlanjur bernafsu. Tak peduli lagi dengan sekelilingnya, Alya sudah tak bisa lagi menahan-nahan hasratnya, sementara Ivan tentu tak ingin menyia-nyiakan kesempatan di pelupuk mata.
“Yakin kak Al kita ga bakalan apa-apa?” Tanya Ivan yang sudah duduk itu celingukan melihat ke luar. Jendela-jendela belakang kendaraan mereka memang cukup gelap, tak mungkin terlihat jika selintas lalu tapi tetap saja Ivan khawatir jika ada orang yang betul-betul mencurigai mereka dan mengintipnya ke jendela.
“Tenang, Van. Mau telanjang pun gak bakalan ada orang yang percaya kita berbuat aneh. Lagi pula siapa yang berani marahin adik-kakak cuma gara-gara gak pake baju, palingan mereka yang malu duluan.” Jawab Alya menenangkan. Alya menarik celana Ivan turun hingga lutut Ivan, lalu kembali menghisap batang kejantanan Ivan yang sudah menjulang.
Tak tahan dengan penis yang tegap berurat itu, Alya melepas celana dalamnya. Ivan mencoba bersikap tenang sekali pun untuk kali pertamanya dia melihat selangkangan Alya yang putih tak berpenghalang. Rambut kemaluan kakaknya itu terlihat rapi dan enak dipandang.
Jantung Ivan berdegup kencang ketika paha yang jenjang itu melangkahi dirinya. Sejujurnya, ini adalah pengalaman berhubungan intimnya yang pertama kali. Tapi gugupnya itu sirna ketika Alya membuka pakaian luar dan branya. Kegugupan Ivan terbius oleh dua benda indah yang menggunung di hadapannya. Dua payudara yang kencang itu bak dua lemon besar yang kenyal dan berisi. Putingnya menguncup dan tegang, membuat gila siapa pun yang melihatnya.
Alya bertumpu pada kedua lututnya di jok, mengangkangi Ivan yang duduk. Dia meraih benda tegak milik Ivan dan mengeluskannya pada permukaan bibir kemaluannya. Ditempatkannya batang ber-helm itu pada sela bibir kemaluan Alya yang sudah merekah itu. Alya mencoba menggoyangkannya, memutar-mutarnya, liang senggamanya yang belum cukup basah itu membuat kemaluan Ivan terasa seret.
“Aaah.” Desah Alya ketika kepala dan batang penis Ivan melesak, menyelinap masuk mengganjal liang vaginanya.
Ivan terpejam, keperjakaannya telah hilang dengan cara yang sangat menyenangkan. Ivan begitu menikmati denyut-denyut kenikmatan yang terhantar dari batang kemaluannya. Dia merasakan batang kemaluannya terhisap oleh rongga panas yang sempit yang dipenuhi oleh dinding-dinding yang empuk dan lembut. Baru disadari olehnya jika berhubungan intim itu tak ada bandingannya dengan onani.
“Pelan aja ya? Biar mobilnya gak goyang.” Ujar Alya sambil mencoba menggerakan pantatnya turun-naik. “Enak gak, Van?” Tanya Alya.
Ivan hanya mengguk. “Kak Al?” Ivan bertanya balik.
“Banget. Emmh.” Jawab Alya sambil mendesah. “Tau gini dari dulu, Van. Ahh.” Desahnya kemudian. Alya memang tak mengira jika batang kemaluan yang selama ini selalu ada di rumahnya itu sangatlah nikmat. Batang kemaluan Ivan yang menyeret-nyeret dinding vaginanya dirasakannya seolah belaian angin musim semi, mengelus dan memijatnya dengan penuh kenikmatan.
Alya mengambil tangan Ivan yang masih malu-malu, kemudian menyentuhkannya pada dua payudara yang kedua ujungnya sudah tegang itu. Ivan yang memang terlalu takut merusak suasana untuk melakukan sesuatu itu begitu kegirangan mendapat izin untuk memegangi buah dada kakaknya yang indah itu. Ivan menggenggamnya, mengusapnya, mengelusnya, dan meremasnya. Alya hanya terpejam menikmati dua stimulasi yang nikmatnya minta ampun itu.
“Van.” Ujar Alya berbisik sambil menggerakkan pantatnya penuh dengan perasaan. Alya menegakkan badannya, mengarahkan kedua payudaranya persis di wajah Ivan. Lalu dia mengusap lembut rahang Ivan dan menarik leher Ivan maju.
Ivan tahu apa yang diingikan kakaknya. Tanpa basa-basi, Ivan menghisap puting payudara Alya.
Cukup lama keduanya saling berpacu kenikmatan, sekali pun samar kendaraan yang mereka naiki itu sedikit bergoyang tapi tak begitu terlihat untuk orang lain.
“Ahhh.” Alya kembali mendesah, merangkul Ivan dengan cukup kencang dan menekan payudaranya ke wajah Ivan. “Aku, emhhh.” Desah Alya sambil menikmati gesekan di bawah sana. Beberapa saat kemudian, Alya terlihat memperdalam dan memperlama gerakannya. “Ahhh. Ahhh.” Desah Alya dengan rangkulan yang kian kencang melilit tubuh Ivan. Jemari Alya kemudian terlihat meremas-remas apa pun yang ada di sekitarnya. Alya tak bisa berpikir banyak, kecuali menikmati pohon kenikmatan yang tumbuh kian tinggi, kian tinggi, dan semakin tinggi. Rasa nikmat bermunculan bak kuncup bunga yang menanti untuk mekar.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaahh!” Alya menegakkan kepalanya, lehernya terlihat berurat, pantatnya menancap dalam-dalam menghisap batang kemaluan Ivan. Alya terpejam, bunga-bunga orgasme yang akhirnya mekar itu seolah beterbangan tertiup angin musim semi yang menerbangkan jiwanya. Bunga-bunga nikmat itu terbang berhamburan dari ujung-ujung syaraf yang tertanam pada organ-organ di sekitar selangkangannya.
“Hahhhh. Hahh.” Alya berdiam sejenak, badannya melunglai, pelukannya mengendur.
Ivan masih saja terdiam menikmati hisapan dan gesekan dinding kemaluan Alya. Pengalaman pertamanya ini membuatnya tidak cukup awas dengan bahasa intim tubuh kakaknya, Ivan bahkan tak menyadari jika Alya baru saja orgasme. Namun Alya sepertinya memahami ini. Ingin membalas kenikmatan yang tadi diperolehnya, Alya dengan hati-hati mempercepat gerakannya.
Ivan yang masih memegangi dan meraba-raba buah dada kakaknya itu terkejut merasakan kenikmatan dari goyangan pantat Alya yang bertambah. Kemaluannya terasa menebal, denyut-denyut kenikmatan mulai terasa kian memuncak. Seperti roket yang sedang membawanya terbang ke angkasa, kian lama kenikmatan itu kian bertambah tinggi, kian rapat gesekan dari Alya kian bertambah tinggi kenikmatan yang dihampirinya. Alya tahu bahasa tubuh adiknya mengindikasikan roket yang akan segera meledak.
“Jangan dikeluarin di dalem, ya.” Pinta Alya berbisik.
Ivan mendengarkannya dan kembali fokus pada kenikmatan yang kian memuncak itu, dan bum!
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaahh!” Ivan serta-merta mendorong Alya, melepaskan diri dari hisapan liang senggama Alya. Dia melenguh dan mengejang, membiarkan roketnya itu meledak-ledak, menyemburkan cairannya dengan penuh kenikmatan. Alya beralih ke samping Ivan dan membantunya dengan memijat-mijat penis Ivan.
“Enak gak, Van?” Tanya Alya, melihat cairan yang meleleh dari batang kemaluan adiknya.
“Baru kali ini ngerasain ML, enak banget ternyata.” Jawab Ivan sambil tersenyum lebar, memperlihatkan giginya, ekspresi wajah yang sangat senang. “Hahh.” Desahnya, menghela nafas penuh kelegaan.
“Hah?” Alya sepertinya terkejut. “Jangan-jangan tadi sebelumnya kamu masih perjaka?” Tanya Alya.
Ivan mengangguk, lagi-lagi terlihat senang.
“Iiih kamuuuuuuu, kenapa gak bilang-bilaaaaang!!” Jerit Alya tersenym sambil mencubit pipi Ivan. “Tau gitu kita pergi aja ke hotel, biar lebih spesial.” Ucapnya kemudian.
“Makasih, ya. Kamu juga cowok pertama yang aku perawanin.” Tutur Alya tersenyum sambil mencium kening adiknya.
“Hehe, iya. Gak apa-apa kok ke hotelnya lain kali.” Jawab Ivan sambil melirik kakaknya dengan genit. Ivan terlihat bahagia dengan sikap kakaknya yang jauh lebih baik dari biasanya yang kasar dan cuek.
“Iiih kamuuuuuu!” Alya kembali mencubit pipi Ivan. “Udah, nyetir sono! Biar cepet nyampe.” Teriak Alya. “Di Bogor juga hotel banyak loh.” Bisik Alya ke telinga Ivan.
—
Selesai.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,